Jumat, 09 September 2011
Dalam bisnis setiap saat menjadi petarung
Sebagai eksekutif dan pebisnis setiap saat hidup kita seperti seorang petarung. Batasnya hanya dilingkaran tali. Pekerjaan kita mengeluarkan lawan dari tali, atau sebaliknya lawan kita mendorong kita keluar dari arena pertarungan seperti pemain sumo ini. Kalau kita berhadapan dengan share holder, walaupun deviden sudah naik dua kali lipat, mungkin pemegang saham hanya senang selama 2 menit. Lebih dari itu mereka merasa kurang. Ketika menghadapi pegawai, walaupun mungkin mereka dinaikkan gaji 10%, mungkin mereka juga hanya senang selama 2 menit, selebihnya merasa kurang juga. Keadaan ini dihadapi oleh eksekutif ketika melayani semua stake holdernya: petugas pajak, birokrasi pemerintah, karyawan, pemegang saham, lebih-lebih kompetitor. Hidup seperti memaksa kita setiap saat menjadi petarung.
Sampai kapan Juara dapat bertahan
Dalam pertempuran tadi, bisa saja kita menjadi juara. Pertanyaannya sampai kapan kita bertahan? Mengapa? Karena semua orang menginginkan menjadi juara. Orang hanya menghargai juara pertama, bahkan runner up ratu kecantikan tidak diingat orang. Karena semua orang ingin menggantikan posisi juara, maka posisi menang adalah posisi yang rawan tergantikan. Tetapi bisa jadi, posisi juara itu tergantikan karena salah kita sendiri. Ibarat bermain bulutangkis, kita outside sendiri atau netting sendiri, bukan karena di smash lawan. Tiger Woods misalnya. Sudah bagus jadi juara dunia, punya istri cantik, bermain-main dengan orang lain. Akibatnya hari ini, semua sponsor yang membuat dia berpenghasilan lebih dari 1 milyar dolar per tahun satu persatu menarik diri. Kekalahan dibuat karena kesalahan diri sendiri.
Mengapa ada rintangan, masalah cobaan dan setan?
Pertanyaannya mengapa Tuhan harus menciptakan rintangan, masalah, cobaan bahkan diciptakan setan? Kalau semua toto tentrem kerto rahardjo loh jinawi kan enak. Jawabnya: supaya kita tangguh, supaya kita menjadi orang hebat. Kalau saya punya anak, lalu dia malas sekolah, apakah kita akan bilang: ya sudah tak usah sekolah. Kalau tak bisa belajar matematika, ya sudah karena susah, kamu tak usah belajar; pasti tidak seperti itu. Kita akan mengajarkan anak kita sampai dia mengerti setiap pelajaran, karena kita tahu hambatan itu akan membuat anak kita menjadi orang hebat nantinya.
Seandainya kalah/Betapa Jelek Nasibku
Kembali ke pertarungan hidup tadi, mungkin kita menjadi juara, tetapi sebaliknya kita mungkin juga kalah. Kalau kita dalam posisi sedang di bawah biasanya kita mengeluh betapa jelek nasibku, kenapa Tuhan jahat pada saya dengan membuat saya seperti ini.
Ada cerita bagus tentang nasib melalui ilustrasi antara sikat gigi dan tissue. Sikat gigi setiap hari mengeluh, nasib saya jelek benar, tiap hari saya disuruh membersihkan kotoran gigi. Dia merasa nasibnya paling buruk. Kebetulan ketemu tissue, dan tissue ini berkata: masih bagus kamu sikat gigi, kamu cuma disuruh membersihkan gigi, saya disuruh membersihkan yang lain. Maka ketika Anda punya nasib jelek, ketika dalam situasi susah, kuncinya saya sarankan: masuklah ke kamar kecil lihatlah nasib tissue, jangan-jangan nasib kita masih jauh lebih baik daripada orang lain. Ada banyak orang lain yang mempunyai nasib lebih jelek.
Mencari tujuan hidup mengikuti jalan atau kita ciptakan
Jadi kesimpulannya, hidup ini mau menjadi baik atau menjadi buruk itu ciptaan Tuhan atau sebenarnya ulah dan upaya kita sendiri? Ada mashab yang mengatakan ikut saja orang majus. Manusia mempunyai kebebasan untuk membuat hidupnya seperti apa. Mereka berupaya mencari Yesus melalui petunjuk bintang. Apa benar secara harafiah bintang itu benar ada lalu berjalan dimuka orang-orang majus itu. Barangkali semua ilmu harus dikerahkan untuk melihat bintang yang memberi petunjuk betlehem itu ada dimana. Dalam perjalanan mungkin saja mereka kehilangan jejak, bertanya, berusaha sendiri untuk sampai ke bayi Yesus. Mashab lain, ya hidup ini sudah dari sananya diciptakan. Yudas contohnya. Dia dilahirkan untuk menjadi pengkhianat, karena kalau tiba-tiba waktu itu Yudas memutuskan menjadi orang baik mungkin tidak akan terlaksana apa yang tertulis dalam kitab suci.
Tergoda cangkir daripada isi
Sama seperti upaya orang Majus dalam upaya mencari Yesus selalu banyak godaan, nomor satu godaan yang paling besar: kita lebih suka melihat cangkir daripada isi. Sebelum kopi dicicipi kita tak tahu rasanya enak atau tidak, tapi mungkin kita sudah berdebat soal cangkirnya. Ibu saya tiap kali ribut kalau dibawa ke warung kopi ini. Katanya harga segelas kopi bisa dipakai untuk minum kopi seminggu. Tetapi toh kita senang, karena ini lifestyle; yang penting bukan kopinya, tapi cangkirnya yang waah….
Lebih penting kulit daripada isi
Ini iklan yang dipasang di Amerika. Kalau polisi melihat orang kulit hitam dan kulit putih, maka orang kulit hitam lebih punya potensi dapat hukuman dibanding orang kulit putih. Kalau melanggar lalu lintas nasibnya orang kulit hitam lebih susah dari orang kulit putih. Kita pun sama. Waktu masuk gereja, saat salam damai kita lihat kiri dan kanan. Maka nomor 1 yang ada dalam benak adalah kesan pertama. Bayangkan ada mbok2pakai sarung, jelek, hitam, duduk di sebelah kita…. bau lagi. Mungkin salam damai kita tidak ditujukan kepada mbok itu tapi kepada yang lain dulu. Malah kalau bisa tidak usah salaman dengan dia. Keliling sampai habis waktu untuk salam damai, sehingga kita tidak usah salaman dengan si mbok itu. Kita seringkali tergoda pada kulit daripada isinya.
Merelakan Yesus menjadi komandan
Nah melihat semua fenomena ini, pertanyaan mendasar adalah seberapa sering dan rela kita menyerahkan diri pada tuntunan Yesus. Semua hal dalam bisnis dan kehidupan sehari-hari dalam seluruh fenomena hidup kita, apakah kita mau serahkan pada Yesus sebagai komandan — Tebarkan jala ! Ini cerita Petrus yang sudah semalaman keliling danau, ia tidak mendapatkan ikan. Saat Petrus bertemu Yesus, lalu Yesus berkata tebarkan jala saja. Kalau zaman sekarang, mungkin kita juga protes dulu pada Yesus: sudah semalam saya keliling tidak dapat ikan, eh sekarang Yesus minta lagi kita menebarkan jala. Mengapa kita protes? Karena kita tidak rela Yesus menjadi komandan kita. Dalam pekerjaan kita lebih sering protes lebih dulu terhadap target yang ditentukan dibandingkan dengan menjalankan saja dulu pekerjaan itu dengan maksimal, hasil akhirnya terserah yang maha kuasa.
Memotivasi diri dan mengembangkan talenta
Kedua, menyerahkan diri kepada Yesus sebagai komandan, artinya kita setiap kali memotivasi diri dan mengembangkan talenta yang kita dapat. Apakah kita kebetulan menjadi raja gula dunia dari Semarang seperti Oey tiong ham yang hidup sekitar tahun 1886. Atau kita hanya menjadi pengrajin minuman bergas Sarsaparila bernama Soeparno, yang setiap hari mempekerjakan tak lebih dari 5 orang pegawai dan hanya beberapa belas distributor.
Menyerahkan diri pada Tuhan, saya selalu mau bilang: saya tidak peduli apakah karya saya begitu besar atau hanya sedikit. Yang penting saya tidak menanam talenta saya ke dalam tanah. Di perusahaan atau kantor saya, hal ini dimanifestasikan dalam penilaian karya. Tidak bisa lagi dikatakan karena kita orang baik dan sosial maka yang tidak berprestasi akan dihargai sama. Saya kira dalam pekerjaan sehari-hari hal ini tidak bisa dilakukan. Dari sisi yang lain, semua orang harus mengembangkan talentanya bahkan Tuhan marah ketika ada orang tidak mengembangkan talenta.
Tegas, Arif, Bicara dan Berbuat serta memberi contoh
Yesus termasuk berkarakter tegas, arif, tak sekadar bicara, pidato dsb. Kalau sekadar bicara seperti itu banyak orang bisa, tapi menjadi contoh yang baik tidak mudah. Saya belajar dari apa yang dilakukan Yesus, memberi contoh tidak hanya pada omongan tapi sampai berani mati. Di kantor saya ketika bulan-bulan Januari atau Februari tahun lalu ada banjir. Kami tidak hanya berkata kasih sumbangan urusan selesai. Ada banyak orang luar biasa, memberi sumbangan banyak, difoto di media, tetapi dia tidak pernah datang, melihat sendiri apa yang dirasakan oleh kurban. Yang penting foto terpampang di media, lalu semua orang memuji sebagai orang hebat dan sosial.
Memungut sampah yang dibuang orang lain
Paling sebel kalau ada orang lain melakukan kesalahan dan kita yang disuruh membereskan; atau sebaliknya orang lain melakukan kesalahan dia dipuji, sementara kita diminta membereskan kesalahan orang lain tanpa pujian. Apa yang namanyacompany/office politic terjadi dimana-mana. Pertanyaannya: maukah kita memungut sampah yang dibuat orang lain ?
Ini pelajaran yang paling berharga bagi kita, karena Yesus yang tidak bersalah, kok tiba-tiba Dia rela disalibkan ? Bahkan ketika Pilatus menawarkan mana yang harus saya bebaskan Yesus atau penjahat itu dan semua orang teriak agar Yesus yang disalibkan dan si bandit dibebaskan. Ketika kita harus memungut sampah yang dibuang orang lain, cerita ini mungkin bisa menjadi contoh yang baik.
Lapuk masih bermanfaat
Di perusahaan seringkali ada orang-orang yang sudah dianggap kayu lapuk atau dead wood. Lalu lingkungan cenderung menyingkirkan dia, tak punya kontribusi, bikin penyakit. Bagaimana kalau suatu ketika kita menantang orang-orang SDM justru memberdayakan orang-orang ini sesuai keahliannya. Daripada pusing memikirkan pelatihan untuk mengatasi kelemahan seseorang, mengapa tidak sebaliknya merangsang kehebatannya. Kalau di perusahaan ada karyawan dengan talenta menyanyi, ya mungkin beri saja pekerjaan menyanyi pada waktu acara kantor, syukuran, ulang tahun atau perayaan lain.
Syukur, sabar dan percaya
Syukur adalah salah satu penyerahan diri. Burung saja diberi makan Tuhan. Kalau kita setiap kali bersyukur, lalu sabar dan percaya, pasti ujung-ujungnya semua indah pada waktunya. Coba berdiri, lalu tengok sebelah kanan kita siapa, sebelah kiri kita siapa, lalu kita amati kalau perlu dari ujung kuku sampai ke ujung rambut. Tersenyumlah, lalu katakan 1 kalimat tentang apa saja yang menyenangkan orang itu. Misalnya rambut kamu bagus, kamu cantik, kamu ganteng, kulit kamu mulus dsb, setelah itu katakan ke orang disebelah kiri lalu sebelah kanan. Setiap hari, setiap kita ketemu orang lalu kita katakan satu kalimat yang baik dan menyenangkan orang lain dan kita ucapkan dengan tulus dengan senyum, maka semua juga akan indah pada waktunya.
Gadhafi: Nowhere to be found but heard loud and Clear
Moammar Gadhafi no longer has his Tripoli compound or his vast power apparatus. He is a fallen leader, a fugitive wanted by the world's eminent criminal court.
And yet, he still has a voice.
It goes out loud and clear to the entire world thanks to Al-Rai, a privately owned Syrian-based television station that has, in recent weeks, taken over for Libyan state media in fulfilling a role as Gadhafi's mouthpiece.
This week, Gadhafi insisted again he will stay in Libya in an audio message broadcast on Al-Rai. CNN is unable to verify the authenticity of the message.
"NATO will be defeated by force because its financial ability is not enough to proceed with the shelling," Gadhafi said. "They claimed I left to Niger so they can weaken you and destroy your morale."
He again called the rebels rats, traitors, liars.
So why is Al-Rai such a strong supporter of Gadhafi and his son Saif al-Islam Gadhafi, who has also taken to its airwaves?
For starters, Al-Rai is not in the vein of commercial networks such as Al-Arabiya, Al Jazeera or even CNN, said Arab television expert Joe Khalil. It's a blip in the regional plethora of channels: about 500 of them that serve up news and entertainment to the Arab world.
Al-Rai portrays itself as a channel of resistance. Its owner, Mishaan al-Jaburi, was a Saddam Hussein loyalist, and Al-Rai's predecessor, Al-Zawraa TV, became infamous for its 24-hour footage of attacks on U.S. forces in Iraq.
With Al-Rai, the resistance is to NATO and its air bombing campaign in Libya, Khalil said.
"This is the kind of channel that gains from being a platform," said Khalil, an assistant professor of communications at Northwestern University in Qatar.
It has also gained from other channels picking up Al-Rai and rebroadcasting the Gadhafi messages, Khalil said.
Al-Jaburi defected to Syria before the Iraq war in 2003, according to his former assistant, who requested to remain unnamed for security reasons.
He returned to Iraq after Hussein fell and joined a reconciliation council but was implicated in a corruption case involving millions of dollars, and he was suspected of funding the Iraqi insurgency.
He fled Iraq again, this time for Libya, under the protection of Gadhafi.
Indicted in Iraq in 2005, al-Jaburi remains a fugitive with a pending 30-year sentence issued in absentia, said the former assistant.
He eventually made his way to back to Syria, where he started Al-Zawraa, said Mahmoud Al Zeibaq, a Syrian dissident living in Cairo and a former Al-Rai program manager.
Al-Zawraa went off the air in 2007. Arab governments banned it from regional satellites.
But al-Jaburi reinvented himself with Al-Rai, registered under his Syrian wife's name and operating out of a modest office in Damascus. The station broadcasts from a studio in al-Jaburi's house, Al Zeibaq said.
Khalil said there have been reports of Gadhafi sponsoring Al-Rai. Gadhafi has been known to buy up media to polish his image. He maintained close ties with a Lebanese station once sanctions on Libya were lifted, Khalil said.
From the very start of the Libyan uprising, Al-Jaburi declared support for Gadhafi in his weekly show, claiming that the Libyan leader was part of the bloc of countries and forces confronting U.S. ambitions in the Middle East, said Yotam Feldner, director of MEMRI TV, a research organization that specializes in Middle Eastern media.
After the fall of Tripoli, Gadhafi's audio messages surfaced on Al-Rai.
Al-Jaburi said "the hero Gadhafi" broadcasts his messages from a van equipped with satellite transmission equipment that can operate anywhere in Libya.
"I sent a crew to Tripoli at the beginning of the attack to cover the events, and we trained the Libyans on how to use it after our own experience with the Iraqi resistance, which was never detected by the American forces," al-Jaburi said.
But some said that it's not about ideology at all and that al-Jaburi sees only dollar signs in front of him.
"The likes of Mishaan al-Jaburi don't care about viewership," said Safwat El Alem, a professor in political media at Cairo University. "They only care about their pockets after they convince those leaders to finance their operations."
El Alem sees Al-Rai meeting the same fate as Al-Zawraa once the anti-Gadhafi fighters consolidate victory.
The Syrian regime also has the power to shut down Al-Rai, but Feldner said that it's probably safe to assume that Bashar al-Assad, the embattled Syrian president, has an interest in curtailing the successes of the Libyan revolt.
Whatever the future, for now, the channel is up and running. And though no one seems to know the exact whereabouts of Gadhafi, his voice is loud and clear -- on Al-Rai.